Source text in English | Translation by Ian Forbes (#5264) |
Winters used to be cold in England. We, my parents especially, spent them watching the wrestling. The wrestling they watched on their black-and-white television sets on Saturday afternoons represented a brief intrusion of life and colour in their otherwise monochrome lives. Their work overalls were faded, the sofa cover—unchanged for years—was faded, their memories of the people they had been before coming to England were fading too. My parents, their whole generation, treadmilled away the best years of their lives toiling in factories for shoddy paypackets. A life of drudgery, of deformed spines, of chronic arthritis, of severed hands. They bit their lips and put up with the pain. They had no option but to. In their minds they tried to switch off—to ignore the slights of co-workers, not to bridle against the glib cackling of foremen, and, in the case of Indian women, not to fret when they were slapped about by their husbands. Put up with the pain, they told themselves, deal with the pain—the shooting pains up the arms, the corroded hip joints, the back seizures from leaning over sewing machines for too many years, the callused knuckles from handwashing clothes, the rheumy knees from scrubbing the kitchen floor with their husbands' used underpants. When my parents sat down to watch the wrestling on Saturday afternoons, milky cardamon tea in hand, they wanted to be entertained, they wanted a laugh. But they also wanted the good guy, just for once, to triumph over the bad guy. They wanted the swaggering, braying bully to get his come-uppance. They prayed for the nice guy, lying there on the canvas, trapped in a double-finger interlock or clutching his kidneys in agony, not to submit. If only he could hold out just a bit longer, bear the pain, last the course. If only he did these things, chances were, wrestling being what it was, that he would triumph. It was only a qualified victory, however. You'd see the winner, exhausted, barely able to wave to the crowd. The triumph was mainly one of survival. | Musim dingin di Inggris dulu sangat dingin sekali. Kami, terutama kedua orangtuaku, menghabiskan musim dingin itu dengan menonton tayangan gulat. Gulat yang mereka tonton di pesawat televisi hitam putih mereka setiap Sabtu sore merupakan suatu terobosan singkat kehidupan dan warna ke dalam hidup mereka yang, kalua bukan karena gulat itu, serba tidak berwarna. Baju kerja mereka pudar, kain penutup sofa – yang tidak pernah diganti selama bertahun-tahun – juga pudar, demikian pula ingatan mereka akan siapakah diri mereka sebenarnya sebelum bermigrasi ke Inggris pun kian memudar. Kedua orangtuaku, bahkan seluruh angkatan mereka, menghabiskan tahun-tahun terbaik mereka seperti tikus di roda putar dengan membanting tulang di pabrik-pabrik demi gaji yang sangat tidak layak. Suatu kehidupan yang diisi dengan pekerjaan yang membosankan, dengan tulang belakang yang bengkok, arthritis yang kronis, bahkan ada yang tangannya terpenggal. Mereka terpaksa harus menggigit bibir dan menahan rasa sakit. Tidak ada pilihan lain. Mereka mencoba menumpulkan perasaannya sendiri – supaya dapat mengacuhkan remehan para rekan kerja, supaya tidak menunjukkan kemarahan terhadap ocehan para mandor yang dilontarkan dengan begitu mudahnya, dan, dalam halnya perempuan-perempuan India, supaya tidak kuatir ketika dipukuli oleh suami. Tahan rasa sakit, kata mereka pada dirinya sendiri, hadapilah rasa sakit – nyeri yang menyentak-menyentak menelusuri lengan, sendi pangkal paha yang sudah mengeropos, punggung yang kerap terkunci akibat terbungkuk di depan mesin jahit selama bertahun-tahun, buku jari yang berbelulang lantaran mencuci pakaian dengan tangan, lutut-lutut yang menderita encok akibat menggosok lantai dengan celana dalam suaminya yang sudah bekas. Ketika orangtuaku duduk untuk menonton gulat setiap Sabtu sore itu, berbekal teh susu kardamunggu, mereka ingin dihibur, bahkan ingin dibuat tertawa. Tetapi mereka juga ingin agar si sial yang baik, biar satu kali saja, dapat mengalahkan si favorit yang jahat. Mereka ingin agar si tukang tindas yang berjalan dengan angkuhnya dan berteriak dengan lantangnya dikalahkan telak. Mereka berdoa supaya si lemah, tergeletak di kanvas, terperangkap dengan jarinya dibengkokkan ke belakang atau memegang pinggangnya dengan kesakitan karena ginjalnya ditinju, tidak takluk. Kalau saja dia bisa bertahan sedikit lebih lama, sambil menahan nyeri, sehingga sampai pada akhir pertandingan. Kalau saja dia melakukan hal-hal itu, maka karena sifatnya gulat di mana kedua lawan dikeroyok habis, kemungkinan besar dia bisa berjaya. Tetapi berjaya dalam arti terbatas. Kami sering menyaksikan si pemenang, yang karena sangat kelelahan, hanya bisa melambaikan tangan dengan sangat lemah kepada para penonton. Sebagian besar kejayaannya itu hanya karena dia telah bertahan hidup. |